Rabu, 10 November 2010

ANAK Bangsa

 

Kisah Anak-anak Peluru



Jumat, 16 Juli 2010

Judul : Anak-anak
Peluru: Kisah Kelam para Tentara Anak
Pengarang : Hery Sudiono & Rini Rahmawati
Editor : Ipang
Penerbit : Mata Padi Presindo
Edisi : I, Juni 2010
Tebal : 117 + xiii halaman
Harga : Rp 39.000,-

Beberapa hari menjelang peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli kita diperkenalkan dengan tentara anak.

Tentara anak, sebuah istilah yang asing bagi publik Indonesia. Namun, ternyata fenomena tentara anak merupakan fenomena yang telah ada sejak berabad-abad silam.

Masa depan perjuangan telah dihancurkan dengan melibatkan anakanak dan mereka terbunuh dalam perang. Fenomena tentara anak tidak bisa dilepaskan kecenderungan peradaban manusia.

Kisah-kisah tentang peperangan dan penaklukan, kehebatan para pahlawan di medan pertempuran, kemenangan gilang-gemilang, merupakan pembentuk sejarah.

Pada masa lalu hingga sekarang, kekesatriaan, keberanian, dan kelihaian di medan pertempuran merupakan sesuatu yang dihargai tinggi (hal 2).

Karena itu, tidaklah mengherankan semenjak dini anak-anak telah dibentuk menjadi ksatria, prajurit, bahkan calon pahlawan yang bakal mengharumkan nama bangsa.

Dengan begitu, pendidikan militer menjadi bagian penting dari proses tumbuhnya seorang anak.

Peradaban Sparta yang telah ada semenjak berabad silam memunyai tradisi mendidik anakanak sejak usia tujuh tahun dengan tempaan militer yang keras. Begitupun pada era perang salib.

Anak-anak salib dibentuk pada tahun 1212, dan akhirnya dihancurkan dalam perang.

Sementara dokumentasi di era modern Napoleon mendidik dan melatih anak-anak Prancis di bawah disiplin militer dan sering melibatkan mereka dalam kancah perjuangan bersama orang tuanya.

Menurut PBB, sekitar 300 ribu anak berusia di bawah 18 tahun telah dieksploitasi sebagai tentara anak di 30 daerah konflik di seluruh dunia seperti Sri Lanka, Kolombia Myanmar, Siera Leone, Sudan, dan berbagai negara lain yang mengalami konflik.

Dan pada tahun 2004 lebih dari 100.000 anak berusia 9 tahun aktif dilibatkan dalam konfl ik bersenjata di Afrika.

Banyak negara menyebut patriotisme yang dikibarkan selama masa-masa krisis adalah salah satu alasan mengapa anak-anak memilih bergabung dalam kesatuan bersenjata.

Anak-anak tidak hanya dimanfaatkan menjadi tentara yang dilibatkan dalam kontak senjata, namun juga sebagai penyampai pesan dan matamata.

Sementara sejumlah besar anak-anak gadis direkrut dalam perang menjadi pemuas nafsu para tentara dewasa.

Anak-anak gadis itu menjadi korban diskriminasi dan sering kali mereka tidak dapat lagi kembali ke keluarga serta mendapat perlakuan yang buruk dari masyarakat.

Berbagai upaya mencegah anakanak dalam perang telah dilakukan. UNICEF, misalnya, menganjurkan tiga langkah penting mengembalikan tentara anak pada keluarga mereka.

Pertama, pelucutan senjata adalah proses pelucutan senjata api genggam dan senjata api ringan terhadap kelompok bersenjata di arena konflik.

Kedua, pembubaran wajib militer dengan melepaskan tentara dari angkatan perang atau dari suatu kelompok bersenjata.

Anak-anak yang menjadi sasaran harus diverifikasi keikutsertaannya dalam konflik bersenjata sehingga diperoleh informasi dasar mengenai identitas anak dan identifikasi kebutuhan mereka.

Ketiga, pengintegrasian kembali yang merupakan proses penanganan jangka panjang untuk merehabilitasi, mengarahkan, dan memberikan alternatif yang sehat atas keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata.

Peresensi adalah Paulus Mujiran, pengelola sanggar Aulia Rayhanatun, Semarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More